Kamis, 02 Desember 2010

AKU BERMIMPI UNTUK DAKWAH KAMPUS ITS

Sebelumnya aku minta maaf kepada panitia PSI 3 atau siapapun yang membaca tulisan ini. Mungkin apa yang kutulis jauh dari syarat-syarat essai yang baik. Aku memang kurang mahir menulis artikel resmi. Aku lebih enjoy menggabungkan kalimat demi kalimat yang kuadopsi atau adaptasi dari pemikiran, pengalaman atau hasil pengamatanku pada lingkungan sekitar. So, jangan pernah komplen kalo tulisanku nggak jauh beda dari cerita-cerita di buku harian…

Waktu itu sore hari menjelang maghrib. Diselimuti cahaya yang mulai redup, dihiasi gemerisik obrolan ringan penghuni ruang TU (Timur Utara) Manarul Ilmi. Aku tidak pernah berniat untuk mengikuti jejak teman-temanku, menghadap mbak-mbak BPH yang kemudian menyodorkan berbagai jenis pertanyaan dan permintaan, dari yang ringan sampe yang bikin kelabakan. Yah, sebut saja peristiwa itu sebagai screening PSI 3.

Di pojokan, depan tempat mukenah aku melihat kopidept kaderisasi duduk berhadapan dengan kopidiv pengembangan. Sekitar dua meter dari tempat itu ada waDiq, eits salah, maksudnya wadir BPM duduk berdua-duaan dengan wakabiro admin. Dan tidak jauh dari keduanya nampak kadept keputrian juga tengah bersitegang dengan sekputnya. Aku menahan tawa, ini screening apa syuro internal departemen??

Akhirnya setelah beberapa menit berlalu dan masing-masing screener telah selesai dengan pelanggannya masing-masing, merekapun mulai menoleh ke arahku. Tiba-tiba perasaanku nggak enak. Waduh, alamat jadi korban selanjutnya,,,

Singkat cerita aku merelakan diriku yang malang ini untuk diserang habis-habisan oleh para screener (hehe,,,nggak separah itu sebenarnya). Keluar dari forum eksekusi aku mendapat oleh-oleh sebuah tugas, bikin essay dengan tema “Aku Bermimpi untuk Dakwah Kampus ITS”.

Mati sudah, seingetku diantara mimpi-mimpi yang sempat menghampiri tidurku tidak ada satupun yang menyinggung masalah dakwah kampus ITS. Lalu apa yang harus kujadikan bahan essaiku? Brain storming, aku berfikir keras untuk cari solusi. Hingga akhirnya pikiran lemotku mendadak hilang, berubah menjadi segumpal zat padat yang mendarat di kepala Einstein. Nggak lah, kejauhan. Mending kepala pak Ridwansyah Yusuf aja,,,beliau kan keren di bidang tulis menulis J.

Aku baru ingat kalau kebiasaanku mengambil pelajaran dari kejadian sehari-hari telah mengajarkanku banyak hal. Dan kebiasaan itu pula yang seringkali memaksa dua sisi karakterku untuk saling berdebat mengenai suatu kejadian.

Mulai serius,,,,

Pak Yusuf pernah menulis dalam salah satu artikel di blognya yang menyatakan bahwa dakwah kampus memiliki keunikan tersendiri dari segi objek dakwahnya, dimana dakwah kampus memiliki objek dakwah yang secara sosio-demografis homogen. Ia seorang yang berpendidikan, menggunakan logika dalam berpikir, serta terbuka terhadap segala informasi.

Kalimat itu memang benar. Sifat mahasiswa yang selalu menggunakan logika dalam berpikir membuat mereka tidak ceroboh dalam mengambil keputusan. Selalu ada pertimbangan matang yang disimpulkan dari hasil pemikirannya, pendapat orang lain dan pengalaman di masa lalu.

Mereka juga terbuka terhadap segala informasi, artinya mereka tidak menutup diri dan terkungkung dengan pendapat serta pemikiran pribadi. Setiap ada informasi baru, mereka akan dengan sigap menanggapi. Jika memang hal itu dirasa baik dan sesuai dengan prinsip yang diyakini, mereka akan menerimanya. Tapi jika tidak, dengan bijaksana mereka akan menolak.

Islam memang terbagi dalam berbagai harakah (hmm,,,baru faham istilah ini waktu screening) dan golongan yang memiliki keyakinan dan prinsip sendiri-sendiri. Tidak ada satupun orang yang bisa menjudge suatu golongan itu salah selagi prinsip-prinsip yang diyakininya masih sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah. Wallahu A’lam. Perbedaan yang terjadi seringkali hanya karena perbedaan penafsiran terhadap suatu dalil.

Mungkin ini bukan mimpi, hanya sebuah harapan yang muncul melihat kondisi umat Islam yang semakin terpecah-pecah, tak terkecuali di kampus ITS. Berbagai golongan yang mengusung organisasinya masing-masing saling berlomba-lomba untuk mendapatkan kader terbanyak. Tidak ada yang salah jika semua itu dilakukan secara seimbang dan dengan cara yang baik. Hanya saja, kita bisa saksikan sendiri bagaimana hubungan antar golongan yang mengatasnamakan Islam sebagai dasar. Entah karena merasa berbeda prinsip atau memang tak mau kalah dengan yang lain, akhirnya mereka menempuh jalan untuk saling bertentangan. Golongan A memusuhi golongan B yang dianggap terlalu ekstrim. Golongan B mengecam golongan C yang dianggap banyak membuat ajaran-ajaran baru. Golongan C hobi menertawakan sikap dan penampilan golongan B. Lalu datang golongan D yang mengkafirkan golongan lain.

ITS mempertemukan aku dengan teman-teman yang berasal dari berbagai macam golongan. Dan memaksaku untuk berinteraksi serta berdaptasi dengan pemikiran, keyakinan dan prinsip yang berbeda-beda. Awalnya memang berat, karena pikiranku masih terdoktrin untuk meyakini hanya golonganku yang benar dan terbiasa memandang sinis pada golongan lain.

Seiring waktu, aku mulai menyadari bahwa kondisi ini bukanlah kondisi ideal bagi umat Islam. Perbedaan bukanlah hal yang salah, perbedaan itu indah. Tidak seharusnya perbedaan yang ada menjadi alasan untuk saling bermusuhan, menjelek-jelekkan apalagi saling menjatuhkan.

Tidak jarang aku mendengar salah satu golongan menggunjingkan golongan lain, mencemooh, menertawakan bahkan mengecam dengan tudingan yang kelewat batas menurutku.

Mengapa kita tidak bisa melahirkan suasana yang indah, di mana perbedaan menjadi suatu hal yang pantas dihormati. Sehingga kita bisa melangkah sejalan. Tidak perlu membesar-besarkan perbedaan yang sebenarnya berakar dari keyakinan yang sama. Tuhan yang sama, Rasul yang sama, kitab yang sama, dasar agama yang sama, rukun iman, rukun islam, dan tujuan hidup yang sama.

Aku ingin dakwah di ITS berjalan seimbang. Setiap harakah dan ormas berhak mendakwahkan ajarannya. Namun tidak perlu diselipi ajaran untuk menjelekkan kelompok lain. Bahkan jika perlu, ada komunikasi dan koordinasi yang kontinu untuk bersama-sama mewujudkan kejayaan Islam.

Sebagai organisasi mahasiswa keislaman tertinggi di ITS, ini adalah kewajiban kita sebagai kader JMMI untuk menyatukan seluruh golongan di ITS. Jangan pernah membatasi dan terpaku pada salah satu golongan, sehingga membuat JMMI kehilangan kepercayaan dari golongan lain.

Memang ini bukan tugas yang mudah, namun tidak mustahil untuk diwujudkan. Sifat netral JMMI bukan berarti tidak menyentuh sama sekali berbagai golongan yang berkembang di ITS. Namun sebaliknya, JMMI justru harus merangkul seluruhnya tanpa terkecuali dan berusaha untuk mensinergikan langkah dalam dakwah. Dengan demikian akan terwujud keharmonisan dan keindahan interaksi yang akan berujung pada kejayaan Islam.

Kembali santai,,,

Hmm,,,itu adalah sebuah harapan yang timbul karena interaksi sehari-hari dengan berbagai jenis golongan. Aku menyayangi semua temanku yang berasal dari berbagai golongan dan aku selalu berharap mereka juga bisa saling berteman.

Matur kasih ya mbak-mbak screener, sedikit banyak hasil eksekusi kemarin menambah pengetahuanku. Tapi satu hal yang aku yakini, dakwah bisa dilakukan di mana saja, kapan saja dan dengan cara apapun, bukan hanya di JMMI. (Miel)

Jum’at, 26 Nopember 2010 : 14.23 WIB

Ruang F101 jurusan Matematika ITS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar