Senin, 31 Januari 2011

Kutemukan Makna Cinta di Jalan Dakwah


Hmm,, entah darimana harus kumulai kisah ini. Rasanya aku tidak pernah sekalipun berniat untuk terjun di jalan ini, jalan dakwah yang menuntut kesetiaan, pengorbanan, keikhlasan, kesabaran, totalitas. Jalan yang tidak hanya menguras waktu, tenaga, pikiran tapi juga tawa dan air mata.

Aku yang selalu tertarik dengan berbagai jenis pelatihan, organisasi dan segala yang membentuk kepribadian seperti menemukan mangsa saat melihat spanduk besar terpampang di depan tempat wudhu masjid Manarul Ilmi. Program Studi Islam 1, entah acara apa itu yang pasti ada HTM dengan nominal cukup besar untuk ukuran mahasiswa baru yang baru berlatih memenejemen uang saku sepertiku.

Aku sepenuhnya yakin acara itu pasti memiliki konsep yang cukup bagus hingga harus mematok harga sedemikian tinggi. Aku pun mantap menjadi bagian dari peserta pelatihan keislaman tersebut.

Dua hari mengikuti rangkaian acara PSI 1 masih belum mampu memunculkan rasa nyaman di hatiku. Aku tetap merasa asing dengan orang-orang di sekitarku meskipun mereka bersikap sangat bersahabat.

Jajaran wanita berjilbab lebar, dengan gaya bicara lembut dan sesekali menggunakan istilah bahasa arab. Malam kedua di masjid Ummul Mukminin sukses membuatku terjaga hingga larut malam, merasakan sesak di dada yang memaksa butiran air hangat mengaliri pipiku. Aku benar-benar tidak sanggup mengikuti acara ini, aku muak dengan segala tingkah orang-orang di sekitarku.

Seperti ada pagar berduri yang membatasi tiap gerak-gerikku. Tidak boleh ada tawa, hanya ada senyum. Tingkah laku yang terjaga, namun justru terkesan dibuat-buat. Aku kehilangan duniaku yang penuh keceriaan dan kebebasan.

Perasaan itu lenyap keesokan harinya begitu kakiku menyentuh ujung rerumputan di lapangan samping masjid. Hari terakhir PSI 1 diisi dengan serangkaian game yang tergabung dalam outbond ringan. Disitulah aku menemukan duniaku, dunia yang penuh keceriaan dan kebebasan. Semangatku terus mengalir hingga membuatku tanpa ragu melingkari poin PPSDM di sebuah lembaran kertas.

Belakangan aku baru tahu kalo pilihan itu yang mengantarkanku menjadi bagian dari sebuah departemen di organisasi lembaga dakwah kampus ITS beridentitas JMMI (Jama’ah Masjid Manarul Ilmi).

Aku hanya mengikuti waktu, tidak ada seberkas niat pun yang mengiringi perjalananku di organisasi ini. Satu-satunya semangatku adalah bertemu dengan bundo Novi, kopedept PPSDM yang seringkali menyuguhkan makanan di saat kita syuro. Sampai detik itu aku hanya menganggap keikutsertaanku di JMMI sebagai salah satu persinggahan yang dengan mudah aku tinggalkan kapanpun aku mau.

Tahun kedua di JMMI, jika tahun kemarin aku hanya berstatus magang, maka saat ini aku resmi menjadi staf  departemen PPSDM. Seharusnya aku bisa lebih berkontribusi untuk organisasi yang sudah membimbingku sejak berstatus mahasiswa baru. Tapi toh aku justru menemukan banyak ketidakcocokan antara organisasi ini dengan prinsip-prinsip yang aku yakini.

Ketidaknyamananku semakin bertambah dengan hadirnya kopidept baru yang memiliki kepribadian jauh berbeda dengan bundo Novi. Mbak Rina, begitu aku memanggilnya, memiliki kepribadian yang lebih serius dan cenderung pendiam. Berbeda sekali denganku yang cerewet dan hobi bercanda ria.

Sebagai staf aku hanya bekerja sebagai formalitas, tanpa sense apapun. Aku juga mulai jarang ke masjid, hanya mampir jika ada syuro yang dengan terpaksa aku hadiri. Aku ingat betul, beberapa kali aku memilih tidur atau sekedar bermalas-malasan di kamar daripada harus datang syuro.

Satu hal yang aku yakini dari seorang aktivis dakwah, mereka memiliki porsi kesabaran di atas rata-rata, begitu pula mbak Rina. Karena itu aku tidak pernah ragu meninggalkan tugas yang diembankan kepadaku dan membiarkan sang kopidept pontang panting menyelesaikan semuanya sendiri.

Hingga suatu hari, dalam sebuah pembicaraan yang cukup membosankan bagiku, aku melihat mbak Rina meneteskan air mata setelah membaca sebuah sms. Gurat lelah terpancar dari wajahnya. “Selalu saja seperti ini,,,” katanya lirih. Aku tidak sepenuhnya faham apa yang terjadi, tapi aku tahu betul kalimat itu muncul seiring dengan kelelahan yang berada di ujung kesabaran.

Peristiwa itu membuatku terenyuh, pengalaman sebagai ketua IPRI (Ikatan Pelajar Putri) saat MTs dan MA dulu kembali bergelayutan di memoriku. Perasaan seorang pemimpin yang harus menanggung seabrek amanah karena kelengahan anggotanya. Sejenak aku merasa begitu bersalah kepada sosok di depanku.

Semangatku mulai tumbuh, setidaknya cukup memberiku alasan untuk mengatakan iya saat mbak Rina menunjukku sebagai salah satu dari 12 SC RDK’31 (Ramadhan di Kampus 1431 H). Meski ada sedikit pikiran negatif yang turut mempengaruhi keputusanku, saat itu aku beranggapan kalo aku akan menjadi orang yang cukup keren jika bisa menjadi SC di kegiatan terbesar JMMI.

Waktu berlalu, menjadi SC RDK ternyata tidak semudah yang aku bayangkan. Aku tiba-tiba menjadi seperti orang bodoh di tengah-tengah tim yang dibangun oleh orang-orang hebat. 5 akhwat yang mendampingiku memiliki keahlian yang berbeda-beda namun semua memiliki tingkatan yang luar biasa. Ria, konseptor handal, kritis, berani, solutif meski sering terkesan memaksakan kehendaknya. Isti, pribadi yang lembut, ulet, telaten, sedikit ceroboh dan mudah panik. Ella, wanita perkasa dengan seabrek amanah di berbagai organisasi, mahir mengatur keuangan meski tidak bisa meluangkan banyak waktu untuk RDK. Mita, pekerja keras, tidak terlalu aktif berpendapat namun selalu memberikan solusi konkrit ketika angkat suara. Ninis, dengan gaya santai dan uniknya dia mampu menciptakan karya yang luar biasa di hampir semua hal yang berbau desain, mulai proposal, form donatur, spanduk, pamflet hingga stiker dan pin.

Mereka memiliki kemampuan yang luar biasa untuk dijadikan alasan menjadi SC RDK, sedangkan aku,,, butuh beberapa bulan sampai aku menemukan alasan mengapa Allah memilihku menjadi bagian dari mereka.

Di sisi lain, 6 ikhwan yang menjadi partner kami juga bukan orang sembarangan. Kukuh, julukan single fighter sempat mampir untuknya sebagai respon atas kinerjanya yang luar biasa ketika hampir semua SC kehilangan semangat juang. Walau sering terkesan kaku dan kelewat serius, tapi bisa dibilang dia yang meluangkan paling banyak waktu untuk RDK. Yahya, kordinator SC yang belakangan kuketahui memiliki prinsip kuat, tidak mudah percaya dengan kabar angin sebelum ia membuktikannya sendiri, selaras dengan ketelatenannya mengordinasi dan memantau kinerja anggotanya, meski sebagai kordinator ia terhitung jarang menampakkan wajah di kegiatan-kegiatan RDK. Bahrowi, pembawaannya cenderung santai, namun di tengah-tengah kesibukannya KP (kuliah praktek) dia masih sempet bolak-balik surabaya-pasuruan untuk  mengabdikan diri di RDK. Menghandle beberapa kegiatan yang diamanahkan kepadanya, termasuk kegiatan terbesar RDK, KOBAR alias buko bareng.

Amir, di balik karakter lemah lembutnya, si Mr. Afwan (julukan ini muncul karena dia hobi bilang afwan) ini menyimpan semangat yang luar biasa. Dari hasil survei, all akhwat sepakat kalo dia hampir tidak pernah menolak ketika salah satu dari kita minta tolong sesibuk apapun dia. Wisnu, dia orang yang cukup hebat, setidaknya itu yang kutangkap saat kami sama-sama mengikuti PSI 2 beberapa waktu lalu. Tidak banyak waktu yang bisa diberikan untuk RDK, mengingat dia harus memperjuangkan ITS di ajang PIMNAS. Tapi satu hal yang mengesankan, dia bisa menyelesaikan seabrek tugasnya dalam waktu sangat singkat. Deni, dia memang jarang angkat suara saat syuro, mungkin sebagai SC termuda yang beda satu tingkat dari SC yang lain dia masih merasa canggung, namun terlepas dari itu semua kontribusinya tidak dapat dianggap remeh. Sebagai bendahara ia tidak terpaku hanya mengurusi keuangan saja, tapi juga selalu berperan di kegiatan-kegiatan RDK.

Dan akhirnya, niatku yang tidak sepenuhnya lillahi Ta’ala menjadi bumerang yang membuatku semakin kehilangan arah di RDK, beberapa kali aku terpikir untuk mengundurkan diri dari tim SC. Mengingat hampir tidak ada kontribusi apapun yang kuberikan untuk RDK selain sebagai tukang jarkom dan datang syuro. Aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan untuk membantu teman-temanku yang sibuk dengan tugas masing-masing. Pekerjaan menumpuk di depan mata, tapi aku justru bingung mau mengerjakan apa.

Di sisi lain, amanah sebagai kopidiv pembinaan departemen kaderisasi diembankan kepadaku di kepengurusan yang baru. Aku semakin galau. Sebagai kopidiv yang seharusnya membantu kadep dan kopidept menyusun program kerja, aku justru bisa dibilang vakum. Tidak pernah datang syuro, bahkan tidak mau tahu dengan program kerja yang akan kuusung setahun kedepan.

Masa itu benar-benar menguji kedewasaanku.  Jiwaku belum sepenuhnya sanggup mengemban amanah yang begitu besar, terlebih semua itu aku dapatkan di organisasi yang kuikuti setengah hati. Beberapa kali pikiran bodoh untuk lari dari semua amanah itu berkelebatan dalam pikiranku. Sempat pula hal itu aku sampaikan kepada Mbak Nailis, kopideptku yang baru. Dengan sabar dia menasehatiku agar tetap kuat mengemban amanah itu, dia meyakinkanku bahwa semua sudah diatur oleh Allah sesuai dengan porsi kesanggupanku. Aku hanya diam, beberapa butir air mata mewakili perasaanku yang sudah tidak karuan.

Pernah suatu sore aku tengah duduk santai menemani Ninis mendesain spanduk Tablighul Akbar, salah satu sub kegiatan RDK. Sebenarnya hal itu tidak lebih penting daripada mendatangi acara Musyawarah Kerja JMMI yang saat itu berlangsung di ruang Teater. Sebuah sms masuk, dari kadept Kaderisasi (Nama baru untuk departemen PPSDM)

Assalamu’alaikm,,, anti di mana?

Kujawab, Wa’alaikmslm, di Manarul Ilmi

Balasnya lagi, bisa datang ke Musyker? Di sini cuma ada staf saja, kopideptnya sakit

Aku berpikir sejenak, aku enggan mengikuti acara itu. Bukan cuma malas, tapi juga karena aku tidak tahu apa yang bisa aku lakukan di tempat itu. Aku sama sekali tidak tahu apapun yang terkait dengan departemen maupun program kerja yang akan diusung di kepengurusan ini. Akhirnya aku memilih tetap di Masjid dan tidak membalas sms itu.

Beberapa waktu berlalu, aku mendatangi syuro majlis tsani (PH dan Middle) kaderisasi. Syuro berjalan biasa saja, hingga tiba saatnya membacakan hasil musyker dari tiap divisi.

“Untuk divisi pembinaan, tolong kopidivnya yang menjelaskan” kata Mas Novan, kadept Kaderisasi

Aku kelabakan, untung mbak Nailis dengan tanggap menyiapkan laptopnya dan mencari data hasil musyker. Meski begitu aku masih kesulitan memahami tiap proker.

“Ayo, waktunya mepet ini. Mana akhwat yang mau menyampaikan “ suara yang sama di balik hijab semakin mendesak

Aku makin panik, mbak Nailis menjelaskan kepadaku dengan suara lirih. Tapi aku tambah bingung.

“Kenapa? Belum update?” suara itu lagi dengan nada yang terdengar agak emosi. Atau mungkin hanya perasaanku saja yang mendengarnya begitu.

“Ya sudah, biar ikhwannya saja yang menyampaikan.” Katanya kemudian, disambung dengan rentetan penjelasan tentang all proker divisi pembinaan.

Ada yang menohok di hatiku. Kata-katanya terdengar begitu menyakitkan. Atau mungkin karena rasa bersalah yang kemudian membuatku merasa ada sindiran di balik kata-kata sang kadept. Yang pasti, saat itu bukannya semakin bersemangat memperbaiki diri, aku justru makin tidak betah di departemen itu.

Jangan sentuh pikirannya, tapi sentuh hatinya. Kalimat itu yang aku yakini paling ampuh merubah seseorang. Banyak orang yang justru tersinggung atau nggak enakan dan akhirnya malah menghindar ketika kita menegurnya secara langsung. Menyentuh hatinya dengan sikap yang baik tanpa kata-kata cenderung lebih mengena. Ketika mereka disadarkan lewat pikiran, akan banyak argumen lain yang menyangkal, itu terjadi secara alami. Tapi jika hatinya sendiri yang bicara, pikirannya akan tunduk begitu saja.

Kalimat itu nampaknya juga berlaku untukku. RDK mengajariku banyak hal, tidak banyak kata yang terucap dari kesebelas partner kerjaku. Mereka sibuk memaksimalkan diri untuk menyelesaikan tugas masing-masing. Sesekali jika memungkinkan, mereka saling membantu satu sama lain. Dan apa yang kulakukan? Aku menyebut kelengahanku sebagai bagian dari tugas kordinator, mengontrol kinerja anggotanya. Mengontrol tapi tidak mengetahui progres tiap sie, mengontrol dengan membiarkan semua orang membanting tulang sementara aku masih sempat bersantai-santai, mengontrol dengan menghadiri tiap kegiatan dan syuro RDK, mengontrol dengan mengambil jatah liburan lebih banyak.

Aku malu mengenang masa itu, tapi justru masa itulah yang menyadarkanku. Merekonstruksi kepribadianku, cara berpikir dan bersikap. RDK hampir berlalu, tinggal satu subkegiatan, Halal bihalal. Di ujung perjalanan inilah aku mulai memikirkan tiap detail langkahku di organisasi yang telah membesarkanku.

Bukankah organisasi ini yang beberapa tahun menjagaku sehingga tidak terpengaruh dengan hal-hal negatif meski dengan cara yang membuatku tidak nyaman? Bukankan di organisasi ini aku menemukan sosok-sosok luar biasa yang senantiasa memperjuangkan kebenaran agamaNya? Bukankah di sini aku mendapat kasih sayang yang begitu tulus dari orang-orang yang menyebutku saudara seIslam? Bukankah di sini mentalku dibentuk sedemikian rupa hingga aku memahami arti kesabaran, keikhlasan, pengorbanan dan kesetiaaan? Bukankah di sini aku tidak hanya mengeluarkan air mata, tapi juga tawa? Dan tidakkah aku sadar Dia telah menetapkan jalan ini untukku hingga aku tetap berada di sini selama lebih dari dua tahun padahal aku selalu ingin meninggalkannya?

Teringat kembali wajah teman-teman seperjuanganku di RDK. Ya Rabbi,,, beberapa bulan aku sudah mendholimi mereka. Satu nama melintas di benakku, nama sang single fighter. Jika aku hanya merasa bersalah dengan SC yang lain di RDK, maka kesalahanku berlipat kepada sosok satu ini. Selain sama-sama menjabat sebagai SC RDK, kami juga partner di departemen Kaderisasi. Dia adalah kadiv pembinaan, dimana aku sebagai kopidivnya.

Entah kekuatan apa yang mampu meruntuhkan benteng kebencian, ketidaknyamanan dan kemalasan di hatiku. Sejak saat itu aku mulai berusaha menebus kesalahanku, melakukan apapun yang bisa aku lakukan untuk organisasi itu, baik di RDK, departemen ataupun JMMI secara umum. Langkahku kian meluas menjadi tekad untuk memperjuangkan dakwah di manapun aku berada.

Fakta pahit menghadangku menjelang masuk semester lima, Ipku turun drastis. Tidak main-main, turun 0,32 dari IPS semula. Kegagalan ini juga menghancurkan mimpiku untuk menjadi mahasiswa dengan IP tertinggi CSS MoRA selama tiga tahun berturut-turut. Hadiah laptop yang dijanjikan oleh departemen agama melayang begitu saja.

Aku sadar, organisasi dan akademik tidak akan bisa jalan seiringan tanpa strategi khusus. Mengawali semester lima, aku menyusun diagram rencana hidup dilengkapi target-target yang harus kuraih. Dari situ kuputuskan untuk terjun di dunia organisasi dengan porsi lebih banyak dari akademik pada semester lima dan enam. Pada semester tujuh, organisasi akan aku tinggalkan dan konsentrasi mengerjakan tugas akhir untuk mengejar target lulus 3,5 tahun. Di samping itu, aku akan lebih melibatkan diri pada pengabdian yang bersifat non formal.

Keputusan telah dibuat dan aku berjanji kepada orang tua akan memperbaiki akademik di semester tujuh. Tiap detik kulalui dengan semangat untuk melakukan yang terbaik. Rasa cinta di jalan ini semakin tumbuh subur di hatiku, seiring dengan semakin dekatnya saat perpisahan dengan organisasi yang telah kugeluti hampir tiga tahun di ITS.

Sore yang cerah, ketika salah satu PH akhwat memanggilku dan mengajak berbicara empat mata. Perlahan dia menyampaikan maksudnya,

“Dek, an mau melamar anti menjadi tim AHWA 22”

Aku tersenyum, tawaran ini sudah aku perkirakan sebelumnya. Bukan karena GR, tapi sebagai salah satu dari 10 peserta akhwat PSI 3 yang memang dipersiapkan untuk menjadi PH JMMI, aku sudah memikirkan kemungkinan ini. Menjadi AHWA, tim konseptor JMMI secara keseluruhan adalah wajib sebelum menjadi PH JMMI.

“Aku nggak bisa, Mbak.” Jawabku kemudian. Kujelaskan secara singkat alasanku menolak tawaran itu berdasarkan rencana hidup yang telah kubuat.

“Nggak harus dijawab sekarang, dipikir saja dulu. Ana tunggu sampai hari selasa.”

Sore berlalu, tawaran itu tidak terlalu aku pikirkan. Aku sudah yakin dengan satu jawaban, menolak. Hingga hari selasa datang, aku masih dengan keputusanku. Tapi mbak Iim, PH yang menemuiku kemarin menyanggah lewat sms,

Alasan anti nggak syar’i, tawaran ini akan tetap berjalan

“Jadi AHWA kan nggak harus jadi PH dek, ada koq kemarin AHWA yang menolak jadi PH. Kalo anti tidak mau jadi AHWA karena tidak ingin menjadi PH JMMI di kepengurusan depan itu bisa dibicarakan.”

Tapi aku menganggap betapa pengecutnya ketika aku hanya mampu berargumen ini itu saat menjadi AHWA, sedangkan ketika masa realisasi aku justru lari dari medan perang. Jika aku tidak mau menjadi PH JMMI, maka aku juga tidak akan menjadi AHWA. Selain itu aku masih trauma dengan kegagalanku di RDK, aku masih belum yakin bisa mengemban amanah yang begitu berat.

Keputusan belum final, namun aku mulai diliputi keraguan. Dalam suatu kesempatan sholat maghrib di Masjid Manarul Ilmi yang saat itu tengah mati lampu, tiba-tiba debar kerinduan merasuki dadaku. Masihkah bisa kurasakan kedekatan semacam ini ketika aku telah meninggalkan organisasi ini. Rasa cinta yang telah berakar di hatiku membuatku semakin takut meninggalkannya. Akankah aku kembali ke gaya hidupku yang penuh dengan kebebasan?

Ada rasa berat meninggalkan berbagai kenangan manis dan pahit selama aku menjalani hidup bersama saudara-saudaraku di sini. Di tempat yang membuatku mengenali siapa aku, merubah kepribadianku dan merasakan ketenangan yang tidak bisa aku temukan di komunitas lain. Setelah semua yang aku dapatkan, aku justru berpaling meninggalkannya ketika ia meminta sedikit pengabdianku untuk mempertahankan perannya di jalan dakwah.

Air mataku mengalir deras di sela dzikir yang kupanjatkan. Dalam keadaan tanpa cahaya, hanya Allah yang tahu bagaimana hatiku berperang begitu hebat. Bayangan teman-teman berkelebatan di antara sosok orang tua yang menunggu kabar keberhasilanku. Dua sisi yang sama-sama aku cintai.

Ketika keadaan mendadak terang oleh lampu-lampu yang mulai menyala, aku memilih mundur, bersandar pada tembok belakang dan berusaha sekuat tenaga menahan emosi yang menyesakkan dada. Seseorang menghampiriku, dia hanya diam, tapi justru hal itu membuatku semakin tidak mampu menahan butiran air mata, aku terisak dengan kepala tertelungkup di atas lutut.

Sepasang tangan merangkulku erat. Dengan lembut dia berkata, “Kami tidak memaksa, kalau memang Millah tidak sanggup menerima amanah ini. Kami akan menerimanya.” Suara mbak Nailis, orang yang selalu dengan sabar mendengarkan keluh kesahku.

Bukan, aku tidak sedang menangisi hal itu. Aku justru sedang bingung dengan keputusanku sendiri. Namun toh akhirnya aku tidak pernah lagi meralat keputusanku, dan tidak ada lagi PH yang memaksaku untuk menjadi bagian dari tim AHWA. Hingga hari penyambutan anggota AHWA, aku hanya menjadi saksi lahirnya generasi pejuang dakwah di JMMI.

Pembubaran panitia RDK, seharusnya ini menjadi momen paling melegakan bagiku. Di mana status sebagai SC RDK akan segera lepas dari pundakku yang sekaligus mengakhiri perjuanganku dan teman-teman selama hampir satu tahun, terhitung mulai bulan Februari sampai Desember 2010. Tapi aku justru merasa berat meninggalkannya, aku telah gagal. Bahkan aku tidak mampu melanjutkan kata-kataku saat menyampaikan pesan dan kesan selama menjadi SC RDK. Mulutku tiba-tiba terkatup rapat, digantikan dengan isak tertahan yang mewakili perasaan hatiku.

Di penghujung semester lima, semua kisah itu tinggal kenangan. Beberapa hari lagi aku akan memasuki semester enam, sebuah pertanda bahwa waktu yang tersisa untuk mengabdikan diri di JMMI tinggal tiga bulan. Aku semakin sering merasakan getar ketakutan akan kehilangan sel dakwah. Namun, kucoba yakinkan diriku bahwa dakwah tidak sesempit yang kupikirkan. Lahan dakwah masih terbuka luas di sekelilingku. Hanya butuh sedikit kepekaan dan kesadaran untuk bisa terjun di dalamnya.

Tekadku bulat, aku akan terus melangkah di jalan ini sampai kapanpun. Semoga Allah menjaga niatku hingga ia benar-benar terwujud di masa yang akan datang. Tidak ada orang yang luput dari kesalahan, tapi seorang pemenang adalah mereka yang bisa menyadari dan memperbaiki kesalahannya. Terima kasih untuk semua orang yang menemaniku di jalan ini, membuatku mengerti akan indahnya hidup dengan nafas Islam. Love you all coz Allah,,,

Membaca Alam


Aku bukan orang yang suka membaca buku. Aku ingat sekali, kegiatan membaca benar-benar hilang saat aku memasuki bangku kelas 2 Aliyah atau SMA. Saat itu, aku hampir tidak pernah membaca buku apapun. Bahkan untuk sekadar membaca buku pelajaran aku harus menunggu momentum yang memaksaku membaca, yaitu menjelang ulangan atau ketika ada tugas rumah.

Membaca sebenarnya pernah menjadi hobiku yang memang sejak kecil berlangganan majalah anak-anak. Satu minggu sekali aku patungan dengan kakak semata wayangku untuk membeli majalah Bobo atau Mentari. Meski begitu, aku hampir tidak pernah membaca rubrik selain cerpen, cerbung, serial, cergam dan apapun yang bersifat fiksi. Rubrik pengetahuan hanya sesekali kulirik jika ada visualisasi yang menarik. Kebiasaan berlangganan majalah berhenti ketika kios majalah dekat rumahku pindah ke desa sebelah. Jarak yang jauh membuatku enggan untuk membeli majalah kesayanganku.

Memasuki bangku SMP, hobiku sedikit berubah. Dari membaca majalah anak-anak berubah menjadi komik. Aku bisa menghabiskan tiga komik dalam sehari ketika liburan. Meski harus menunggu giliran baca dari beberapa orang tidak masalah, yang penting aku bisa menikmati komik-komik itu tanpa biaya sepeserpun. Yah, komik itu dipinjam oleh tetanggaku di sebuah tempat penyewaan komik yang kemudian dipinjamkan ke teman-temannya, termasuk aku, dengan cuma-cuma.

Memasuki bangku SMA, spesialisasiku berubah lagi, dari komik ke novel islami. Novel-novel itu aku pinjam dari perpustakaan yang kebetulan terletak dekat dengan ruang kelasku. Tahun itu, mungkin menjadi tahun istimewa. Di mana aku bisa mendatangi perpustakaan hampir tiap hari.

Kebiasaan itu tidak bertahan lama, tahun berikutnya aku hampir tidak pernah pergi ke perpustakaan. Seiring dengan semakin berkurangnya novel yang belum kubaca. Semakin lama aku mulai kehilangan semangat membaca buku dalam bentuk apapun, baik majalah, komik, novel, kumcer  apalagi pengetahuan umum.

Menjadi mahasiswa tidak juga mengubah keenggananku membaca. Aku ingat betul, dua tahun di bangku perkuliahan aku hanya pernah memasuki perpustakaan pusat dua kali. Itupun hanya beberapa menit, pertama karena tiba-tiba saja rasa kantuk menyerangku begitu aku duduk membawa sebuah buku. Yang kedua, sebenarnya aku hanya ingin mengantarkan temanku yang ingin mencari buku, daripada nganggur aku mengambil sebuah majalah sains dengan harapan bisa membangkitkan semangat bacaku. Baru beberapa lembar kulewati, ketika kepalaku mendadak pusing disertai mual-mual. Suasana perpus yang lengang dengan setumpuk buku-buku berat yang sudah termakan waktu tidak dapat diterima dengan mudah olehku. Akhirnya aku memaksa temanku untuk segera keluar dari rumah ilmu itu.

Aku bukannya tidak menganggap membaca adalah suatu hal yang sangat penting, hanya saja mataku memang kurang bersahabat dengan deretan huruf-huruf yang memanjang dan memenuhi berlembar-lembar kertas.

Aku menyadari pengetahuanku sangat terbatas tanpa membaca. Semula, aku menganggap hal ini tidak akan mempengaruhi karya-karyaku yang kebanyakan bersifat fiksi. Model karangan ini hanya memerlukan imajinasi yang kuat dan pilihan kata yang menarik. Namun, belakangan aku merasa karanganku sama sekali tidak berbobot, imajinasiku tidak bisa berkembang. Banyak hal yang tidak bisa aku deskripsikan secara detail untuk mengajak pembaca memasuki alur ceritaku.

Aku yang dianggap hebat dari segi akademik hanya bisa menjadi pendengar setia ketika teman-temanku berdiskusi masalah pengetahuan umum. Aku semakin larut dalam kegalauan, antara keinginan yang kuat untuk mendapatkan pengetahuan dengan ketidakmampuanku membaca buku.

Aku mulai menyusun strategi, bagaimana caranya agar aku bisa mendapatkan pengetahuan lebih tanpa harus merasa tertekan. Ada tiga cara yang aku jalankan. Pertama, membaca alam. Seseorang pernah bercerita tentang pengalaman yang membuatnya percaya pentingnya keyakinan dalam segala hal. Suatu hari dia duduk di tepi jalan, menunggu tumpangan balik ke rumah. Iseng dia mengambil sebuah kerikil. Dalam pikirannya, kerikil ini tidak mungkin bisa masuk ke dalam lubang kecil di depannya. Tapi kemudian, dia coba mengendalikan pikirannya dan benar-benar yakin bahwa ia bisa memasukkan kerikil itu ke dalam lubang. Ia melemparkan kerikil itu, lemparannya meleset. Namun di luar dugaan, kerikil itu terpental dan masuk ke dalam lubang itu. Sejak saat itu dia percaya bahwa semua hal bisa terjadi asalkan kita yakin. Dan sejak saat itu pula dia mulai memperhatikan hal-hal kecil yang mungkin dianggap orang kurang penting padahal sebenarnya menyimpan pelajaran yang berharga.

 Aku kemudian berusaha untuk memperhatikan semua kejadian di sekitarku. Di manapun aku berada, mataku selalu awas melihat dan memikirkan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Aku mencatatnya dalam sebuah buku dan mengambil makna dari semua peristiwa.

Luar biasa, sedikit banyak peristiwa itu mempengaruhi  cara berpikirku, sikap bahkan ucapanku. Aku bisa sedikit menekan hal-hal negatif dalam diriku dan menambalnya dengan hal-hal positif. Aku menjadi lebih peka, lebih mudah memahami karakter, pikiran dan suasana hati orang di sekelilingku. Banyak peristiwa yang kemudian menjadi pelecut agar aku senantiasa bersyukur, menerima kegagalan dan termotivasi mencapai kesuksesan.

Cara kedua yang aku lakukan adalah mendengar, berfikir dan bertanya. Aku membiasakan diri untuk terlibat dengan berbagai jenis obrolan, baik yang sifatnya ringan atau berat. Tidak jarang aku terlihat seperti orang bodoh karena sama sekali tidak memahami topik pembicaraan. Aku menekankan pada dirku untuk malu menjadi orang bodoh tapi tidak malu terlihat bodoh. Aku harus selalu siap bertanya setiap kali ada hal-hal yang tidak kumengerti. Jika forum kurang berkenan dengan banyak pertanyaan, maka yang kulakukan adalah memikirkannya, mencari kemungkinan-kemungkinan lalu mengonfirmasi kebenarannya.

Berpikir adalah hal tersulit yang pernah kulakukan. Karena berpikir memaksaku mencari premis-premis atau fakta-fakta yang ada, menganalisa, mengaitkannya, melogika hingga menghasilkan suatu kesimpulan yang masih perlu dikonfirmasi kebenarannya. Terkadang hal ini cukup menarik, sebab beberapa kali aku mampu menemukan rahasia yang disembunyikan seseorang. Meski hal itu tidak pernah benar-benar aku yakini sebelum rahasia itu terbongkar dengan sendirinya.

Cara ketiga adalah mencari dan memberi. Kita tidak akan pernah tahu seberapa besar kemampuan dan kepahaman kita terhadap sesuatu sebelum kita membagikannya kepada orang lain. Menceritakan suatu kisah yang nampaknya sudah sangat kita hafal saja akan susah untuk disampaikan ketika kita tidak benar-benar memahaminya. Sebab, persepsi manusia cenderung melebih-lebihkan. Aku mulai menyadari bahwa berbagi dengan orang lain tidak hanya memberikan manfaat bagi objek saja tapi juga kita sendiri sebagai subjek.

Nilai akademikku memang tergolong tinggi, karena ia menempati urutan kedua di angkatanku. Hal ini memberiku alasan untuk tetap percaya diri menjadi asisten dosen di dua mata kuliah, Kalkulus dan pemrograman komputer 2. Namun nilai tidak selalu menggambarkan kemampuan, dalam beberapa pertemuan aku sukses dibuat bingung dengan materi yang kusampaikan. Padahal materi ini sengaja kupilih karena aku yakin telah menguasainya.

Aku mulai mendapat alasan untuk terus belajar dan menguji pemahamanku agar bisa maksimal ketika mengajar. Memberi justru memaksaku untuk mencari. Dan aku mulai menikmati sirkulasi itu.

Tiga cara di atas aku lakukan semata-mata untuk menggantikan peran membaca buku sebagai sumber ilmu. Namun, seiring berjalannya waktu aku mulai terdorong untuk membaca dan semakin tertarik dengan aktivitas tersebut setelah merasa butuh referensi lain yang menunjang proses berfikir dan memberi.

Allah senantiasa memberikan petunjuk bagi hambaNya yang mau berfikir dan tawakkal kepadaNya. Aku meyakininya,,,