Senin, 31 Januari 2011

Membaca Alam


Aku bukan orang yang suka membaca buku. Aku ingat sekali, kegiatan membaca benar-benar hilang saat aku memasuki bangku kelas 2 Aliyah atau SMA. Saat itu, aku hampir tidak pernah membaca buku apapun. Bahkan untuk sekadar membaca buku pelajaran aku harus menunggu momentum yang memaksaku membaca, yaitu menjelang ulangan atau ketika ada tugas rumah.

Membaca sebenarnya pernah menjadi hobiku yang memang sejak kecil berlangganan majalah anak-anak. Satu minggu sekali aku patungan dengan kakak semata wayangku untuk membeli majalah Bobo atau Mentari. Meski begitu, aku hampir tidak pernah membaca rubrik selain cerpen, cerbung, serial, cergam dan apapun yang bersifat fiksi. Rubrik pengetahuan hanya sesekali kulirik jika ada visualisasi yang menarik. Kebiasaan berlangganan majalah berhenti ketika kios majalah dekat rumahku pindah ke desa sebelah. Jarak yang jauh membuatku enggan untuk membeli majalah kesayanganku.

Memasuki bangku SMP, hobiku sedikit berubah. Dari membaca majalah anak-anak berubah menjadi komik. Aku bisa menghabiskan tiga komik dalam sehari ketika liburan. Meski harus menunggu giliran baca dari beberapa orang tidak masalah, yang penting aku bisa menikmati komik-komik itu tanpa biaya sepeserpun. Yah, komik itu dipinjam oleh tetanggaku di sebuah tempat penyewaan komik yang kemudian dipinjamkan ke teman-temannya, termasuk aku, dengan cuma-cuma.

Memasuki bangku SMA, spesialisasiku berubah lagi, dari komik ke novel islami. Novel-novel itu aku pinjam dari perpustakaan yang kebetulan terletak dekat dengan ruang kelasku. Tahun itu, mungkin menjadi tahun istimewa. Di mana aku bisa mendatangi perpustakaan hampir tiap hari.

Kebiasaan itu tidak bertahan lama, tahun berikutnya aku hampir tidak pernah pergi ke perpustakaan. Seiring dengan semakin berkurangnya novel yang belum kubaca. Semakin lama aku mulai kehilangan semangat membaca buku dalam bentuk apapun, baik majalah, komik, novel, kumcer  apalagi pengetahuan umum.

Menjadi mahasiswa tidak juga mengubah keenggananku membaca. Aku ingat betul, dua tahun di bangku perkuliahan aku hanya pernah memasuki perpustakaan pusat dua kali. Itupun hanya beberapa menit, pertama karena tiba-tiba saja rasa kantuk menyerangku begitu aku duduk membawa sebuah buku. Yang kedua, sebenarnya aku hanya ingin mengantarkan temanku yang ingin mencari buku, daripada nganggur aku mengambil sebuah majalah sains dengan harapan bisa membangkitkan semangat bacaku. Baru beberapa lembar kulewati, ketika kepalaku mendadak pusing disertai mual-mual. Suasana perpus yang lengang dengan setumpuk buku-buku berat yang sudah termakan waktu tidak dapat diterima dengan mudah olehku. Akhirnya aku memaksa temanku untuk segera keluar dari rumah ilmu itu.

Aku bukannya tidak menganggap membaca adalah suatu hal yang sangat penting, hanya saja mataku memang kurang bersahabat dengan deretan huruf-huruf yang memanjang dan memenuhi berlembar-lembar kertas.

Aku menyadari pengetahuanku sangat terbatas tanpa membaca. Semula, aku menganggap hal ini tidak akan mempengaruhi karya-karyaku yang kebanyakan bersifat fiksi. Model karangan ini hanya memerlukan imajinasi yang kuat dan pilihan kata yang menarik. Namun, belakangan aku merasa karanganku sama sekali tidak berbobot, imajinasiku tidak bisa berkembang. Banyak hal yang tidak bisa aku deskripsikan secara detail untuk mengajak pembaca memasuki alur ceritaku.

Aku yang dianggap hebat dari segi akademik hanya bisa menjadi pendengar setia ketika teman-temanku berdiskusi masalah pengetahuan umum. Aku semakin larut dalam kegalauan, antara keinginan yang kuat untuk mendapatkan pengetahuan dengan ketidakmampuanku membaca buku.

Aku mulai menyusun strategi, bagaimana caranya agar aku bisa mendapatkan pengetahuan lebih tanpa harus merasa tertekan. Ada tiga cara yang aku jalankan. Pertama, membaca alam. Seseorang pernah bercerita tentang pengalaman yang membuatnya percaya pentingnya keyakinan dalam segala hal. Suatu hari dia duduk di tepi jalan, menunggu tumpangan balik ke rumah. Iseng dia mengambil sebuah kerikil. Dalam pikirannya, kerikil ini tidak mungkin bisa masuk ke dalam lubang kecil di depannya. Tapi kemudian, dia coba mengendalikan pikirannya dan benar-benar yakin bahwa ia bisa memasukkan kerikil itu ke dalam lubang. Ia melemparkan kerikil itu, lemparannya meleset. Namun di luar dugaan, kerikil itu terpental dan masuk ke dalam lubang itu. Sejak saat itu dia percaya bahwa semua hal bisa terjadi asalkan kita yakin. Dan sejak saat itu pula dia mulai memperhatikan hal-hal kecil yang mungkin dianggap orang kurang penting padahal sebenarnya menyimpan pelajaran yang berharga.

 Aku kemudian berusaha untuk memperhatikan semua kejadian di sekitarku. Di manapun aku berada, mataku selalu awas melihat dan memikirkan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Aku mencatatnya dalam sebuah buku dan mengambil makna dari semua peristiwa.

Luar biasa, sedikit banyak peristiwa itu mempengaruhi  cara berpikirku, sikap bahkan ucapanku. Aku bisa sedikit menekan hal-hal negatif dalam diriku dan menambalnya dengan hal-hal positif. Aku menjadi lebih peka, lebih mudah memahami karakter, pikiran dan suasana hati orang di sekelilingku. Banyak peristiwa yang kemudian menjadi pelecut agar aku senantiasa bersyukur, menerima kegagalan dan termotivasi mencapai kesuksesan.

Cara kedua yang aku lakukan adalah mendengar, berfikir dan bertanya. Aku membiasakan diri untuk terlibat dengan berbagai jenis obrolan, baik yang sifatnya ringan atau berat. Tidak jarang aku terlihat seperti orang bodoh karena sama sekali tidak memahami topik pembicaraan. Aku menekankan pada dirku untuk malu menjadi orang bodoh tapi tidak malu terlihat bodoh. Aku harus selalu siap bertanya setiap kali ada hal-hal yang tidak kumengerti. Jika forum kurang berkenan dengan banyak pertanyaan, maka yang kulakukan adalah memikirkannya, mencari kemungkinan-kemungkinan lalu mengonfirmasi kebenarannya.

Berpikir adalah hal tersulit yang pernah kulakukan. Karena berpikir memaksaku mencari premis-premis atau fakta-fakta yang ada, menganalisa, mengaitkannya, melogika hingga menghasilkan suatu kesimpulan yang masih perlu dikonfirmasi kebenarannya. Terkadang hal ini cukup menarik, sebab beberapa kali aku mampu menemukan rahasia yang disembunyikan seseorang. Meski hal itu tidak pernah benar-benar aku yakini sebelum rahasia itu terbongkar dengan sendirinya.

Cara ketiga adalah mencari dan memberi. Kita tidak akan pernah tahu seberapa besar kemampuan dan kepahaman kita terhadap sesuatu sebelum kita membagikannya kepada orang lain. Menceritakan suatu kisah yang nampaknya sudah sangat kita hafal saja akan susah untuk disampaikan ketika kita tidak benar-benar memahaminya. Sebab, persepsi manusia cenderung melebih-lebihkan. Aku mulai menyadari bahwa berbagi dengan orang lain tidak hanya memberikan manfaat bagi objek saja tapi juga kita sendiri sebagai subjek.

Nilai akademikku memang tergolong tinggi, karena ia menempati urutan kedua di angkatanku. Hal ini memberiku alasan untuk tetap percaya diri menjadi asisten dosen di dua mata kuliah, Kalkulus dan pemrograman komputer 2. Namun nilai tidak selalu menggambarkan kemampuan, dalam beberapa pertemuan aku sukses dibuat bingung dengan materi yang kusampaikan. Padahal materi ini sengaja kupilih karena aku yakin telah menguasainya.

Aku mulai mendapat alasan untuk terus belajar dan menguji pemahamanku agar bisa maksimal ketika mengajar. Memberi justru memaksaku untuk mencari. Dan aku mulai menikmati sirkulasi itu.

Tiga cara di atas aku lakukan semata-mata untuk menggantikan peran membaca buku sebagai sumber ilmu. Namun, seiring berjalannya waktu aku mulai terdorong untuk membaca dan semakin tertarik dengan aktivitas tersebut setelah merasa butuh referensi lain yang menunjang proses berfikir dan memberi.

Allah senantiasa memberikan petunjuk bagi hambaNya yang mau berfikir dan tawakkal kepadaNya. Aku meyakininya,,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar